Home » , » Gengsi

Gengsi


“Tiap hari aku membayangkan kamu, Nadin Dinda Syafitri. Senyuman bibir merah itu, tatap manja itu, desah nafas
saat kamu kedinginan, wajah memelasmu menahan ngantuk, hangat genggaman
tanganmu, semuanya. Semakin lama aku tambah takut, takut membayangkan orang yang sama sekali bukan kamu yang ada bersamaku ini. Orang yang hanya mirip kamu dari segi fisik saja, atau lebih tepatnya hanya merupakan hasil dari imagenasi kesepianku saja”

“Aku ingin tahu apakah sama yang selama ini ku bayangkan, andai kamu yang benar-benar ada di sampingku saat ini? Bukan hanya bayanganmu.”

Begitu yang ku katakan pada Fitri lewat ujung telfon malam itu. Tak lagi ku dengar suara cempreng gadis satu sekolahku itu menjawab pertanyaanku, suasana telfon malam mingguan sepi membeku secara tiba-tiba untuk waktu yang lama.

Sudah enam bulan lalu ku nyatakan perasaanku pada Fitri, gadis pemain basket yang kelasnya berjarak dua kelas di depan kelasku di sekolah. Kami adalah teman lama yang pernah sekelas waktu kelas tiga SMP, sejak SMP hingga kelas tiga SMA ini Hanya Fitri yang bertahan jadi teman SMS-an dan curhatku walau di SMA ini kami tak pernah lagi sekelas. Awalnya aku tak menyangka akan naksir pada gadis yang suka berpakaian tomboy ala kadarnya ini, hingga suatu hari di enam bulan yang lalu aku merasa sudah terlalu terbiasa bersama dan mulai naksir pada gadis ini, hingga ku beranikan diri untuk ungkapkan perasaanku saat itu. Dan, sejauh ini sudah enam bulan HTS (Hubungan Tanpa Status) resmi kami jalani.

“Hikz.. Hikz… Maafin aku Dri” desah tangis Fitri mengkagetkan lamunanku.

“Lho, kok nangis? Jangan nangis dong sayang. Gak jadi deh, aku gak bakal minta kesempatan untuk bareng kamu. Kamu tau kan aku paling gak kuat kalau denger kamu nangis? Please, berenti nangis yaa? yaa?” bujukku pada Fitri.

“Hikz.. Sudah enam bulan yaa? Andri, sebulan lagi ujian akhir sekolah. Seperti yang selalu kita takutkan, setelah itu kita akan benar-benar jauh kuliah di lain kota. Maafin aku karena gak bisa, gak mau dan mustahil untuk bisa bareng kamu selama ini. Hikz.. hikz..”

Memang susah di jelaskan, sudah enam bulan yang lalu aku nyatakan rasa sayangku ke Fitri. Tapi bahkan hingga saat ini pun kami belum pernah duduk bareng berdua. Fitri adalah anak seorang dosen di salah satu universitas kota ini. Secara tidak tertulis dan terucap, Fitri paham betul bahwa dia dilarang pacaran di masa SMA ini oleh kedua orangtuanya. Orangtua Fitri adalah tipe-tipe orangtua yang akan menyuruh anaknya belajar semalaman suntuk ketika menjelang ujian sekolah, hal ini juga yang ku sadari membuatku merasa menjalani Hubungan Jarak Jauh dengan Fitri, walaupun sebenarnya jarak kelasku dan Fitri hanya dua ruangan saja di sekolah.

“Driii..!!! kok diam?” Dengan cemprengnya Fitri teriak di ujung telfon. Membuyarkan lamunanku sekali lagi.

“eee Eh, iya. Aku maafin kok, mungkin memang sebatas ini kita bisa bersama, sebatas SMS. Sebatas Telfonan tiap malam minggu gini. Walau memang kadang aku iri…”
“Iri?” Fitri penasaran.

“Ya aku iri lah melihat teman-teman lain dengan mudahnya bisa bersama orang yang dia sayang di sekolah, mulai pagi hingga pulang sekolah. Sedangkan kamu, kamu selalu kabur dan sembunyi melihat aku, I am not a monster, you know”

Tak ku mengerti, itulah Fitri. Sebelum aku mengungkapkan perasaanku enam bulan lalu, sikap Fitri biasa saja layaknya seorang teman lama. Bertemu bicara sebebasnya, tanpa ada rasa malu. Namun virus apa yang sedang nyangkut di otaknya kini?. Jangankan bicara secara langsung, seperti gerakan reflek dia akan otomatis kabur dan ngumpet ketika melihatku di sekolah. Terakhir aku baru tahu tiga bulan lalu, ketika seorang sahabat sekaligus teman curhat Fitri bilang bahwa aku adalah cinta pertama bagi Fitri. Namanya juga “Hubungan Tanpa Status”, sebisa mungkin Fitri merahasiakan tentang hubungan ini kepada siapapun, mencegah kemungkinan salah satu anggota keluarganya ada yang tau, walau jujur aku merasa tersiksa.

“Maaf, maaaaf banget sayang, aku belum terbiasa natap mata orang, apalagi itu kamu. Aku cuma gak mau ada yang curiga akan hubungan kita. Ayolah, sabar ya. Coba ngerti akuuu” Fitri memelas.
Alasan itu lagi, alasan yang sama lagi. Sampai kapan Fitri main petak umpet terus-terusan seperti ini?. Sebulan lagi kita akan sama-sama lulus, lalu pergi ke kota yang beda untuk kuliah. Mungkin dengan cepat ada laki-laki yang merebut hatinya dariku, mungkin kami akan lost contact? dia akan pacaran dengan orang lain? terlalu banyak kemungkinan buruk sudah numpuk di fikiranku.

Selama enam bulan ini aku kangen betul pada Fitri, tanpa dia tahu aku sering memandanginya dari balik jendela kelas yang ada di depan kelasnya, aku sering diam-diam datang sore hari ke sekolah untuk melihatnya latihan basket dari ujung lapangan, aku tak akan pulang sekolah sebelum melihat Fitri di jemput pulang lebih dulu oleh bapaknya, aku selalu memperhatikan Fitri sebagai orang yang ku sayang tanpa dia tahu, walau dari jauh. Persis seperti seorang Pengagum Rahasia.

“Ah, sudahlah. Aku males mau debat lagi sayang, mending bahas yang lain” jawabku
“Bahas apa contohnya?”

“entahlah”

Kalau boleh di analogikan (di bandingkan), aku dan Fitri Seperti orang yang sedang telfonan dengan batasan waktu satu jam. Tapi terlalu sering diem-dieman. Walaupun waktu tinggal sepuluh menit, tetep aja diem.

Masa-masa SMA akan segera berakhir, Fitri tetap terlihat anggun dengan semua ke angkuhanyya untuk jaga jarak denganku di hadapan teman temanyya. Serta masih cukup anggun untuk membuatku tak fokus pada mata pelajaran sekolah, walaupun hanya karrna tak melihatnya seharian di sekolah.

“G’nite sayang”

“G’nite juga”

Suara telfon yang tertutup, menandakan sebentar lagi Fitri akan pindah dari ujung telfon ke dalam mimpiku, menguasai tidurku. Lalu Fitri akan membangunkanku di tengah malam, kemudian dia pindah lagi dari dalam mimpi ke dalam air mata yang menetes jatuh ke sajadahku di tengah malam, ke dalam bait tiap doaku.

“Aku mohon dengan segala kerendahan hati, Persatukanlah hati Andri dan Fitri ya Allah” dialog sederhana yang selalu ku ucapkan tiap malam. Malam ini pun juga tak terkecuali, tanpa Fitri tahu pula secara tidak langsung dia telah merubah seorang Andriansyah yang dulunya serba malas ini menjadi anak yang rajin ibadah, jadi anak yang rajin belajar. Betapa segaris senyuman dapat mempengaruhi otak orang yang melihatnya. “Aku sayang kamu” Khayalan Suara Fitri sekali lagi mengantarkanku tidur malam entah untuk yang ke berapa kalinya.

Ku melihat semuanya dari sudut pandang ku. Selalu begitu, bahkan dari atas panggung ini, kamu masih terlihat sama. Indah dari sudut pandanganku.

“Cewek tomboy, aku masih tak percaya. Terutama akan tiga hal. Pertama, kamu terlihat manis lebih dari pada biasanya dengan kebaya dan rambut terurai itu, dengan sanggul, dengan semua dandanan macam seorang putri kraton malam ini. Aku tak percaya Allah terlalu baik malam ini padaku. Kamu di antara mereka yang berdandan sama denganmu, tapi dari penglihatanku kamu Ratu, mereka selir. Sungguh aku tak ingin berkedip menatapmu.”

kepala sekolah menyalamiku, aku bangun dari igauan hati sendiri. Sebuah senyum yang seakan dipaksakan aku tayangkan kepada semua undangan malam perpisahan SMA ini, terutama untuk Fitri.
“Yang ke dua, aku juga masih tak percaya senyumanmu itu telah mengubahku. Menjadi sejajar dengan orang-orang yang diberi penghargaan karena prestasi dan nilai ujian akhir sekolah yang tinggi. Aku tak mungkin ada di atas panggung ini tanpa semangat darimu. Dan yang terakhir, bukan hanya tak percaya tapi aku juga tak ingin ini menjadi malam perpisahan SMA kita, malam yang membuatku merasa memang tak akan melihatmu untuk waktu yang sangat lama.”

Semua orang kini sibuk berfoto ria, tak terkecuali Fitri dan teman-temannya. Rasanya capek juga terlalu lama memandangi dia dari salah satu kursi duduk di ruangan ini, capek hanya memandangi dari jauh. Sementara kamu tetap asyik berfoto, tanpa melihat ke arahku.

“Hmm” gumamku dalam hati.

Tak akan bertemu untuk waktu yang lama menjadi satu-satunya alasan semua siswa-siswi angkatanku berfoto bersama.

“Aku juga pengen foto bareng kamu Driii…” aku ingat betul Fitri pernah berkata seperti itu sembilan puluh enam hari yang lalu. Tapi coba lihat dia sekarang, di depan panggung berfoto dengan teman-temannya. Bahkan tak punya keberanian untuk menyalami tanganku.

“Eh, Dimana Fitri? Tadi dia di depan panggung itu kan. Atau, atau jangan-jangan…” aku tak berani menengok ke belakang.

“Dri!!!… Andriansyah Sayaaang?!, denger gak sih?! Ayo ikut” Secara tiba-tiba saja Fitri menarik tanganku dengan erat, entah aku mau di bawa kemana. Dengan terburu-buru, Tangan kirinya menyinsingkan roknya sedikit, memudahkanya untuk setengah berlari. Ku dapat melihat sepatu High heel yang Fitri pakai, sepatu yang sebenarnya tak cocok untuk menculik paksa seseorang dari malam perpisahan SMA, cagaknya tak akan mampu jika dipakai terus-terusan berlari seperti ini.

“Sayang, kita sampai.” Akhirnya Fitri berhenti setelah lumayan lama berlari.

“Lapangan Basket?” kataku.

Fitri menunduk, nafasnya masih tak teratur. Kini sanggulnya di kepalanya sedikit miring karena tak kuat diajak berlari. Tak ada jawaban yang keluar dari mulutnya. Entah kenapa dia berani bilang sayang secara langsung sekarang, bukan lewat telfon, bukan lewat SMS? Entah kenapa pula dia menarikku ke lapangan basket?. Katanya dia ingin foto bareng, Apa iya harus main basket dulu?
Perasaan senang merata dengan bingung dalam benakku.

“Aku sayang kamu Driii” Fitri mendekat tiba-tiba, memeluk tubuhku.

Hening, tak ada yang ku dengar selain suara detak jantungku sendiri. “Deg deg” makin lama temponya makin cepat. Fitri makin mengeratkan pelukannya, tubuhku beku.
“Aku takut kehilangan kamu sayang, aku takut. Aku sering berharap kamu bersamaku di lapangan basket ini, tempat favorit, bersama orang yang disayang, nyaman saja rasanya. Maaf aku yang egois selama ini, terlalu gengsi untuk bareng-bareng kamu, kabur melihatmu. Maaf, aku nyesel, aku gak mau kita jauh” bisik Fitri dengan pipi yang mulai basah. Berusaha terus memelukku.

Alangkah bodohnya aku saat itu, bibir masih terlalu beku untuk bergerak. Tanganku bahkan tak mampu membalas pelukan Fitri. Kadang ku pikir impian yang terwujud tiba-tiba, lebih beresiko daripada penyakit serangan jantung. Buktinya tak ada sepatah kata pun yang bisa ku ucapkan, aku seperti lumpuh, lupa caranya bicara. Mungkin selama ini Fitri juga punya perasaan kangen yang sama besarnya denganku, mungkin dia juga ingin bareng-bareng, dan mungkin aku juga yang tak bisa melihat itu. Masih dalam pelukannya, hati masih terasa hangat yang menentramkan.

Tanganku mulai bisa mengusap kepala Fitri, mencoba menenagkannya. “Kita tak bisa berbuat apa-apa. Hari ini aku sadar kalau aku tak mencinta sendirian. di sisi lain, aku sadar kita akan mulai merasa sendirian sekarang. Walau tak bareng-bareng seperti pasangan yang lain, makasih sayang sudah menemaniku, sudah jadi bagian hangat dalam hati ini.”

Fitri melepaskan perlahan pelukannya dariku, kini dia meletakkan pandangannya lurus ke mataku untuk pertama kalinya. Pandangan mata perempuan baru selesai menangis, aku gemetar tak tega melihatnya. Fitri mengucapkan kalimat yang sampai sekarang selalu membuatku merasa istimewa… “aku cinta kamu”. Aku pun membalas ucapanyya.

Dan persis di tengah lapangan basket malam hari, di bawah lampu redup di pinggir lapangan ini, dengan suara musik malam perpisahan yang sayup-sayup masih terdengar, ku kecup kening Fitri.
“Percaya ke aku sayang, kita akan bersama lagi, suatu hari nanti…”

“Amien” Fitri tersenyum, mengamini keyakinanku. Eh, salah. Keyakinan kita berdua maksudnya.


Cerpen Karangan: saiful badri


 Baca juga cerpen remaja lainnya .

0 coment:

Post a Comment

Powered by Blogger.