Cklek! Uhukk!! Debu langsung menyambut indera penciumanku begitu aku masuk rumah yang beberapa waktu lalu kutinggalkan itu. Sempat terpikir dalam benakku untuk menjual rumah ini, namun hati kecilku menentangnya. Ya, terlalu banyak ke
nangan yang tertinggal disini hingga aku merasa berat untuk menjualnya pada orang lain. Jadi karena tak ada pilihan lain, aku harus menempati rumah ini.
Saat aku membuka pintu utama yang langsung berhubungan dengan ruang tamu, aku tersenyum kecut menatap semua perabotan yang masih berada pada tempatnya. Tidak berubah sedikitpun, hanya saja kini perabotan itu ditutupi kain putih supaya tidak kotor dan berdebu. Aku menutup pintu dan meletakkan koperku di dekatnya. Kubuka kain yang menutupi sebuah sofa putih panjang di ruang tamu. Seketika itu juga dadaku terasa sesak. Mengingat bagaimana dulu aku sangat sering duduk di sofa putih ini sambil menunggu dia pulang. Kuteruskan membuka selembar demi selembar kain, hingga aku membuka sebuah cermin seukuran tinggiku. Kuamati tubuhku yang tampak sangat kurus dan pucat. Air mataku meleleh mengingat semua yang menyebabkan aku begini. Kududukkan tubuhku di sofa putih tadi. Air mataku mengalir lebih deras tanpa mampu kucegah. Ruang tamu ini, disinilah dulu aku dan Luhan menghabiskan waktu untuk bermain permainan favorit kami.
FLASHBACK
“Chagiya, aku bosan bekerja hari ini. Kita main saja yuk? Aku ingin menghabiskan hari ini denganmu.” Ucap Luhan sambil melepas dasi yang baru saja kupakaikan. “Mworago? Kau mau bolos kerja? Andwaeyo (Jangan) oppa. Ayahmu pasti mengomel kalau putra kesayangannya bolos kerja hanya untuk menemani yeojachingunya di rumah. Arraseo?” tanggapku. Luhan oppa tetap menggeleng. “Ayolah chagiya, itu bisa diatur kok. Aku kan bisa alasan kalau aku sedang tidak enak badan. Ne?” Ia mengeluarkan aegyo-nya yang mau tak mau membuatku luluh. “Baiklah, hanya hari ini saja ne? Lain kali kau tidak boleh membolos.” Kataku pasrah. Luhan oppa nyengir kuda lalu berbalik. “Mau kemana?” tanyaku reflek. Ia menoleh dan memamerkan senyum manisnya. “Aku mau ganti baju chagiya. Ikut?”. “Ihh, shireo (Tidak mau). Sudah palli (cepat) ganti bajumu.” Kataku. Ia masuk ke dalam kamar. Aku menghela napas dan tersenyum. Beberapa saat kemudian, Cklek! Luhan keluar membawa 2 rubik kesayangannya. “Ayo kita main rubik.” Katanya sembari menyodorkan satu rubiknya. “Shireo, aku pasti kalah lagi nanti.” Tolakku. Walaupun aku suka bermain rubik, bukan berarti aku lebih jago daripada namjachinguku ini. Dia kan terkenal sebagai Rubik’s Cube King “Jeballyo, aku tidak akan menyuruhmu melakukan hal aneh lagi kok kalau kau kalah. Ne?” Luhan menyunggingkan senyum mautnya. Aku mendengus pasrah dan mengangguk.
Selang beberapa menit kemudian…
“yess… i win.” Luhan tersenyum penuh kemenangan. Aku meletakkan rubikku dan memasang tampang cemberut —berpura-pura tepatnya. “ya! Chagiya, aku menang lagi. Hehe. Kok cemberut sih? Ntar hilang lho cantiknya.” Katanya menggoda. Ia menoel-noel pipiku. “Lain kali aku tidak mau bermain rubik bersamamu. Kau selalu membuatku kalah lalu menyuruh-nyuruhku.” Aku mempoutkan bibirku. Chup! Luhan mengecup bibirku sekilas. “Aku kan sudah bilang tidak akan menyuruhmu untuk melakukan hal-hal aneh lagi chagiya.”. “Lalu?” . “Aku hanya menyuruhmu ganti baju sekarang. Arraseo (Mengerti)?”. Luhan mengacak pelan rambutku. Aku mengerutkan kening. “Untuk apa?” tanyaku. “Sudahlah. Palli ganti bajumu. Kutunggu disini ne? Jangan lama-lama.” Jawab Luhan. Aku pun berjalan masuk kamar dengan rasa penasaran. Kuputuskan untuk memakai jegging hitam dan T-Shirt asimetris merah plus boot hitam semata kaki. Cklek! “Neomu yeppeo (Sangat cantik). Sekarang temani aku jalan-jalan.” Ucap Luhan begitu aku keluar kamar. “Oh ya. bawa rubiknya ya?” pinta Luhan lagi. Aku mengangguk. Dasar manusia rubik, sepertinya dia tidak bisa hidup tanpa rubik, ckckckck.
FLASHBACK OFF
Air mata yang turun membasahi pipiku, mengalir lebih deras. Kukeluarkan 2 buah rubik miliknya dan kupandangi dengan seksama. Nan jeongmal bogoshippo (I Miss U so much)… aku kangen melihatnya bermain rubik dengan serius tanpa bisa diganggu, aku kangen suruhannya untukku saat aku kalah bermain rubik, dan… aku kangen ciumannya saat itu. Kenapa aku harus kehilangan dia secepat ini? Kenapa bukan aku yang menggantikannya saja? Luhan-ah, kau pembohong. Katamu kau tidak akan meninggalkanku namun kenyataannya kau meninggalkanku. Bukankah aku pernah bilang padamu kalau aku tidak akan bisa hidup tanpamu? Apa kau tidak percaya aku sungguh-sungguh serius saat mengatakannya? Aku serius Luhan-ah… batinku pilu. Kuraih sebotol obat dan kubaca labelnya. TOXIC MEDICINE. Tentu kalian tahu ini apa, aku juga tahu ini berbahaya, namun hanya painkiller ini yang bisa menghentikan rasa sakitku walau hanya sementara. Kuambil beberapa butir dan langsung menelannya. “Uhukk!!!” Awhh…
Next day
Aku terbangun dari tidurku. Entah sudah berapa lama, yang jelas ini sudah pagi lagi. Kepalaku sangat-sangat pusing. Kuputuskan untuk tidak membuka tirai jendela dan langsung pergi ke kamar mandi. Sambil menunggu airnya hangat, aku duduk di tepi jendela. Dulu Luhan oppa pernah bilang padaku, kalau tempat ternyamannya saat sedang stress adalah tepi jendela kamar mandi. Ya, kuakui tempat ini akan membuat siapapun merasa nyaman. Karena diluar ada taman kecil dan udaranya selalu sejuk. Aku tersenyum tipis. Oppa, sedang apa kau disana? Apa kau masih ingat padaku? Tiba-tiba tanganku menyenggol sesuatu. ”Eh, mworago?” gumamku. Aku menyenggol sebuah botol yang aku sendiri tidak tahu apa itu. Kubaca labelnya, ‘Bvlgari’. Ini parfum. Kubuka tutup botolnya dan menguarlah aroma parfum yang sangat kukenali. Luhan oppa. Aku tersenyum tipis dan menuangkan setetes demi setetes parfum itu di bathtub. Oppa, nan jeongmal bogoshippoyo (Aku benar-benar merindukanmu). Air mataku kembali menetes.
FLASHBACK
“Oppa. Ireonayo. Palliwa.” Kutepuk-tepuk pipi Luhan oppa supaya ia bangun. “Hnnggg…” Luhan oppa hanya merespon dengan erangan kecil pertanda dirinya masih sangat mengantuk. “Oppa, ahjussi (paman) tadi meneleponku supaya kau datang pagi hari ini. Ada meeting. Palliwa.” Aku menggoyang-goyangkan badannya supaya ia terbangun. Perlahan Luhan oppa membuka matanya. Aku tersenyum. Ia seperti anak kecil. “Palliwa (Cepatlah)…” kataku lagi. Ia hanya menatapku, lalu “Poppo.” . aku membulatkan mataku. “Poppo.” Ulangnya lagi sambil menggembungkan pipinya. “Shireo (Tidak mau). Oppa cepat mandi sana. Tidak ada poppo.” Balasku sembari beranjak. Grepp… “Aku tidak mau mandi kalau tidak ada poppo. Arraseo (Mengerti) chagiya?” Luhan oppa menatapku evil. “Baiklah, baiklah. Ak..” belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, bibir cherry milik Luhan oppa telah menyapu bibirku. Singkat saja. “Selesai. Aku mau mandi.” Luhan oppa melepas tautannya dan melangkah ke kamar mandi. Aku hanya menggelengkan kepalaku heran. Beberapa menit kemudian ia sudah memakai jas rapi.
FLASHBACK OFF
Jas yang dipakainya itu, masih tergantung di seberang dinding tempatku duduk sekarang. Aku melangkah mendekatinya dan meraihnya perlahan. Bau samar seperti parfum yang tadi kuambil, masih tercium di jas itu. Air mataku kembali meleleh. Semua yang ada disini mengingatkanku betapa hangatnya dirimu dulu, betapa cerianya dirimu. Dan sekarang, aku harus menerima kenyataan bahwa semuanya telah menghilang dari hidupku. Tuhan, kenapa secepat ini? Aku tidak pernah percaya dia pergi selamanya. Dia hanya ‘menghilang’ sebentar, dia pasti kembali lagi untukku…
Ruang makan
Aku menyiapkan banyak sarapan hari ini. Siapa tahu Luhan oppa akan datang lagi. Dia kan hanya ‘pergi sebentar’. Ya, hanya sebentar. Aku tersenyum tipis. Aku memasak bibimbap kesukaannya, cream spaghetti favorit kami berdua dan hot ramyun. Aku pun sudah menyiapkan piring untuknya. Kenapa Luhan oppa lama sekali? “Jung Seon Young, dia tidak ada.” Samar-samar kudengar suara seseorang berbicara. “Nuguseyo (Siapa itu)? Kenapa kau berani-beraninya bilang Luhan oppa tidak ada? Huh!!” seruku. “Seon Young, terimalah kenyataannya. Ia sudah tidak ada lagi di dunia ini.” . “Kau siapa??!! Kenapa kau berkata seperti itu?! Luhan oppa masih bekerja dan sebentar lagi ia pasti pulang!!!” kataku bergetar. Air mata mulai membasahi pipiku. “Seon Young-ah. Belajarlah menerima kenyataan itu walau pahit… kumohon, belajarlah.” . Air mataku turun semakin deras. “AAAAARRRRHGGHHHH!!!” Kubanting semua makanan yang kusiapkan di meja. Dadaku terasa sesak karena ucapan tadi. Semua makanan jadi berserakan di lantai dan piring-piring serta gelasnya pecah. Tapi aku tidak peduli. Aku hanya ingin Luhan oppa kembali. Hanya itu saja. Kuraih obatku dan kutenggak beberapa pil. “Uhukk!! Uhukk!!! Uhukk!!”. Kutatap telapak tanganku nanar. Darah… Air mataku kembali turun lebih deras. Oppa, tidakkah kau lihat aku sangat menderita? Kenapa kau tidak kembali? Aku membutuhkanmu. Nan dangsineun bogoshippo, batinku.
Ruang santai
Ruangan ini begitu hening, hanya suara detak jam yang terdengar. Aku mendudukkan tubuhku di sebuah sofa panjang dan menghela napas, kutatap dress putihku yang terpercik darah karena batukku tadi. Aku tersenyum kecut. Oppa, bisakah aku mengembalikan semua seperti semula? Bisakah aku memutar waktu sehingga aku tidak harus kehilangan dirimu secepat ini? Kau tahu ini akan sangat menyakitkan, namun kenapa kau tetap meninggalkanku disini sendirian? Without a guardian angel? Kuusap mataku yang meneteskan buliran bening itu. Kuraih sebuah jam mini. Jam itu hadiah dari Luhan oppa untukku setahun yang lalu.
FLASHBACK
“young-ah. Kenapa kau masih bermalas-malasan eoh?” suara Luhan oppa menyapa telingaku. Namun aku masih enggan membuka mata. Memangnya kenapa kalau aku malas-malasan hari ini? Aku kan sudah libur dari kemarin “young-ah. Ireonayo (Bangunlah)…” Luhan oppa mengguncang tubuhku.
Tapi aku tetap tidak merespon. “ya! Apa aku perlu menciummu supaya kau bangun eoh?” kudengar suara Luhan oppa yang kesal. Ingin rasanya aku tertawa, tapi aku kan masih tidur—Ani, berpura-pura tepatnya. Kekekeke. “Hana (Satu), dul (Dua)…” Ia mulai menghitung. Aku cepat-cepat membuka mataku. Daripada aku dicium mendadak “Haish, dasar putri tidur.” Omelnya. “huh? Kau juga.
Bukankah biasanya kau baru bangun jam 12? Ini masih jam 8 pagi. Tumben sekali kau bisa bangun pagi.” Cibirku. Luhan oppa membuka mulutnya. “jangan lebar-lebar. Nanti lalatnya masuk. Arra?” kataku sambil menyentil hidung mancungnya. “Geurae, karena aku sudah terbangun, aku mau tanya. Kenapa oppa membangunkanku sepagi ini eoh?” sambungku sembari menatap Luhan oppa yang tampak salah tingkah. “Eumm, apa kau tidak ingat hari ini hari apa yeobo?” tanyanya. Aku mengerutkan kening. “hmmm… mollaseo (Aku tidak tahu). Memangnya hari apa?” Aku balik bertanya. Tukk! Luhan oppa menjitakku. “ya! appo!” erangku. “Kau benar-benar tidak ingat hari ini hari apa?” tanya Luhan oppa lagi. Aku menggeleng inosen. Tukk! Satu jitakan mendarat lagi di kepalaku. “Appoyo (Sakit)”. “Seon Young-ah. Kau ini benar-benar pelupa ya? ckckck. Pabo (Bodoh).” Bibir Luhan oppa melukis sebuah smirk. Aku mempoutkan bibirku. “Memangnya kenapa? Apa hari ini begitu penting?” kataku sebal. Luhan oppa membalikkan badanku lalu, Chup… “Saengil Chukkahamnida (Selamat ulangtahun) nae sarang.” Katanya lembut usai mencium bibirku sekilas.
Aku membulatkan mataku. Hari ini ulang tahunku ya? haish, kenapa aku bisa lupa. Neo paboya Seon Young-ah. “Sudah ingat kan?” Luhan oppa kembali bertanya. Aku mengangguk. “Gumawo.” Ucapku seraya tersenyum. “Oh ne. Ini hadiah untukmu.” Luhan oppa menyodorkan sebuah kotak yang sudah terbungkus rapi. “Mwonde? (Apa ini?)”. “Buka saja.” . Aku menyobek bungkus kado itu hati-hati.
“Jam, dan kalung dengan huruf XLH. Apa maksudnya?” tanyaku heran. “Jam itu supaya kau mengerti arti kehidupanmu yan tidak aka abadi di dunia ini. Hidup akan terus berjalan dan suatu saat akan berhenti karena takdir. Seperti jam yang akan terus berdetak hingga baterainya habis. Lalu kalung itu, aku ingin kau tahu aku akan selalu bersamamu dimana pun dan kapanpun. Arraseo?” jelas Luhan oppa panjang lebar.
FLASHBACK OFF
Aku tak kuasa membendung air mataku untuk yang kesekian kalinya. Kata-kata yang diucapkannya masih terngiang dengan jelas di pikiranku. Kuraba kalung pemberiannya di leherku. Aku akan selalu bersamamu dimana pun dan kapanpun. Sekali lagi kurasakan dadaku sesak. Ini terlalu menyakitkan bagiku. Bagaimana tidak, ia meninggalkanku disaat kami akan bertunangan. Dan ia meninggal karena mengambil tiara yang akan kupakai saat acara pertunangan nanti, sama artinya bahwa karena akulah Luhan oppa harus kehilangan nyawanya. Bagaimana bisa aku tidak merasa bersalah? Aku menyesali semuanya. Oppa… kumohon kembalilah walaupun hanya sebentar, pintaku dalam hati. Air mataku meluncur dengan deras.
Kuraih botol obat painkiller yang di dalamnya hanya tersisa beberapa. Kutenggak semua pil yang tersisa itu. Aku tidak peduli apa yang akan terjadi padaku setelah ini. Aku hanya ingin bersamamu lagi oppa… Hanya itu yang kuinginkan.
Kau bilang hidup itu seperti jam yang baru akan berhenti bila baterainya habis. Kurasa saat ini bateraiku habis oppa. Biarkanlah aku menyusulmu kesana. Menebus kesalahanku padamu, dan bersamamu disana untuk selamanya. Jeongmal mianhae… Setelah itu aku merasakan kepalaku menjadi semakin ringan. Seluruh tubuhku juga seperti kapas, dan tunggu… cahaya apa itu? ‘Seon Young-ah…’ Aku merasa seseorang memanggilku, aku melangkah lebih dekat ke cahaya itu.
‘Chagiya…’ Nuguseyo? Siapa yang memanggilku? ‘Young-ah, ini aku Luhan. Kemarilah…’ Aku mendekat ke cahaya putih tersebut, semakin dekat ketika aku benar-benar melihat Luhan oppa dengan jas putih. Ia tersenyum. Wajahnya tampak damai. Aku langsung memeluknya dan menumpahkan tangisku. ‘Uljimayo chagiya, aku disini bersamamu sekarang. Selamanya.’ Ia menggenggam erat tanganku dan mencium keningku. ‘Uljimayo (Jangan menangis)…’ katanya lagi. Ia menatapku sambil tersenyum. Senyum itu, senyum yang kurindukan selama ini. Dan setelahnya, dapat kurasakan aku terbang ke langit biru bersamanya, meninggalkan tubuhku di bumi…
Cerpen Karangan: Aprilandinabila
Facebook:: Andinie Annd Mauliddyya
Baca juga cerpen remaja lainnya .
0 coment:
Post a Comment